Senin, 12 Desember 2011

Bekerja berat ,Puasa?


Assalamualaikum Wr.Wb.
Sahabat Muslim, Puasa adalah salah satu rukun Islam yang telah dinyatakan dalam Al-Quran, Sunnah dan konsesus (ijma) para ulama'. Tidak boleh berbuka kecuali kalau ada uzur (alasan) syar'i seperti sakit atau safar. Terkadang seseorang di tengah puasa merasakan kepayahan, maka hendaklah dia bersabar dan memohon bantuan kepada Allah Azza wa Jalla. Kalau merasa sangat haus waktu siang Ramadhan, dibolehkan menyiram air di kepala untuk mendinginkan suhu badan, atau dengan berkumur. Kalau karena kondisi kehausannya sangat membahayakan keselamatan jiwa, maka dia boleh berbuka dan mengqadha setelah itu di hari yang lain.
Akan tetapi berbuka puasa tidak boleh karena pekerjaan yang menjadi sebab adanya kondisi yang melelahkan tersebut,  kalau masih memungkinkan mengambil cuti kerja di bulan Ramadhan atau meringankan beban pekerjaan atau merubah pekerjaan yang lebih mudah lagi.
Ulama yang terkumpul dalam Komisi Fatwa (Arab Saudi) berkata:
Sudah diketahui dengan pasti bahwa puasa Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap mukallaf (baligh) dan salah satu rukun Islam. Oleh karena itu setiap mukallaf (orang yang telah diberi beban melakukan kewajiabn) harus berupaya sedapat mungkin untuk melaksanakan puasa sebagai realisasi dari perintah Allah ta'ala,  seraya mengharap pahala dan takut akan siksa-Nya tanpa melupakan dunianya dan tanpa mengedepankan dunianya atas akhiratnya.
Jika ada pertentangan antara keduanya, upayakan semaksimal mungkin agar dapat mengkompromikan supaya keduanya dapat terlaksana. Dalam pertanyaan di atas mungkin dia dapat mengganti waktu kerjanya menjadi malam hari atau dia mengambil cuti selama bulan Ramadhan meskipun tanpa gaji. Kalau tidak memungkinkan, silakan mencari pekerjaan lain yang dapat menggabungkan di antara keduanya. Jangan mengedepankan urusan dunia dengan mengorbankan akhirat. Karena pekerjaan mencari rezki banyak caranya tidak hanya terfokus pada pekerjaan yang melelahkan badan. InsyaAllah akan ada pekerjaan mubah untuk mencari rezki yang dapat melaksanakan kewajiban Allah dengan izin Allah.
Allah berfirman:
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS. At-Thalaq: 2-3).
Jika dia tidak mendapatkan pekerjaan kecuali apa yang disebutkan tadi, maka hendaklah dia membawa agama berpindah ke tempat lain yang lebih memudahkan untuk melaksanakan agama dan dunianya serta bekerja sama dengan umat Islam dalam kebaikan dan ketaqwaan. Karena bumi Allah luas sekali.
Allah berfirman:
"Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak." (QS. An-Nisaa: 100).
Firman Allah lainnya: "Katakanlah, "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu." Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Az-Zumar: 10).
Kalau sekiranya tidak mendapatkan semuanya, dan mengharuskan dia tetap bekerja dengan pekerjaan berat, dia harus tetap berpuasa sampai merasa kepayahan. Apabila sudah merasakannya, baru boleh makan dan minum sesuai dengan kebutuhan agar bisa menghilangkan kepayahan. Kemudian setelah itu (tenaganya pulih) dia tetap menahan makanan. Dan mengqadhanya di hari lain yang mudah baginya untuk berpuasa.
Fatwa Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Wal Ifta' (10/233-234).  
Mereka (Komisi Fatwa Arab Saudi) juga ditanya tentang seorang yang bekerja di pabrik roti dan merasakan sangat kehausan dan kelelahan dalam bekerja. Apakah dia boleh berbuka puasa?
Mereka menjawab: Orang tersebut tidak dibolehkan berbuka. Dia harus tetap berpuasa. Membuat roti di siang hari Ramadan bukan uzur dibolehkannya berbuka. Oleh karena itu, hendaknya dia bekerja sesuai kemampuan."
Fatawa Al-Ad-Daimah Lilbuhuts Al-ilmiyah wal Ifta' (10/238)
Wallahu'alam

Niat puasa


Permasalahan Melafadzkan Niat Puasa Ramadhan sesungguhnya sudah jelas sebagaimana Imam  An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[Rowdhotuth Tholibin, 1/268 ] Semakin keliru lagi jika niat ini dibaca bareng-bareng selepas shalat tarawih.
Seputar Niat Puasa
Al-Ustadz Hammad Abu Muawiah
http://kaahil.files.wordpress.com/2010/08/h_doa_shawum_01.gif?w=271&h=168Hukum Niat
Niat adalah rukun berpuasa sebagaimana pada seluruh ibadah. Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan itu (syah atau tidaknya) tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin Al-Khaththab)
Niat dalam ibadah, baik wudhu, shalat, puasa dan selainnya tidak perlu dilafazhkan. Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata, “Mengucapkan niat (secara jahr) tidak diwajibkan dan tidak pula disunnahkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.” (Majmu’ Al-Fatawa: 22/218-219) Dan dalam (22/236-237) beliau berkata, “Niat adalah maksud dan kehendak, sedangkan maksud dan kehendak tempatnya adalah di hati, bukan di lidah, berdasarkan kesepakatan orang-orang yang berakal. Walaupun dia berniat dengan hatinya (tanpa memantapkannya dengan ucapan, pen.), Maka niatnya syah menurut Imam Empat dan menurut seluruh imam kaum muslimin baik yang terdahulu maupun yang belakangan.” Maka sekedar bangunnya seseorang di akhir malam untuk makan sahur -padahal dia tidak biasa bangun di akhir malam-, itu sudah menunjukkan dia mempunyai maksud dan kehendak -dan itulah niat- untuk berpuasa.
Waktu Berniat
Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar dan Hafshah -radhiallahu anhuma- bahwa keduanya berkata:
“Barangsiapa yang tidak memalamkan niatnya sebelum terbitnya fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Daud no. 2454, At-Tirmizi no. 730, An-Nasai (4/196), dan Ibnu Majah no. 1700)
Hadits ini disebutkan oleh sejumlah ulama mempunyai hukum marfu’, yakni dihukumi kalau Nabi yang mengucapkannya. Karena isinya merupakan sesuatu yang bukan berasal dari ijtihad dan pendapat pribadi.
Maka dari hadits ini jelas bahwa waktu niat adalah sepanjang malam sampai terbitnya fajar. Hadits ini juga menunjukkan wajibnya berniat dari malam hari dan tidak syahnya puasa orang yang berniat setelah terbitnya fajar. Ini adalah pendapat mayoritas Al-Malikiah, Asy-Syafi’iyah. dan Al-Hanabilah. Dan ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, An-Nawawi, Ibnu Taimiah, Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani.
Catatan:
Kecuali kalau dia baru mendengar kabar hilal ramadhan di pagi hari, maka ketika itu hendaknya dia berpuasa dan puasanya syah, karena tidak mungkin bagi dia untuk kembali berniat di malam hari.
[Al-Mughni: 3/7, Al-Majmu’: 6/289-290, An-Nail: 4/196, dan Al-Muhalla no. 728]

Apakah Syah Berniat Di Awal Ramadhan Untuk Sebulan Penuh?
Pendapat yang menyatakannya syahnya adalah pendapat Zufar, Malik, salah satu riwayat dari Ahmad dan salah satu riwayat dari Ishaq. Hal itu karena puasa ramadhan adalah satu kesatuan, sama seperti rangkaian ibadah haji yang cukup diniatkan sekali.
Sementara jumhur ulama berpendapat wajibnya berniat setiap malamnya berdalilkan hadits Hafshah dan Ibnu Umar di atas.
Mereka mengatakan: Karena jumlah malam dalam ramadhan adalah 29 atau 30 hari maka wajib untuk memalamkan niat pada tiap malam tersebut.
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang pertama, dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
Akibat perbedaan pendapat ini nampak pada satu masalah yaitu:
Jika seorang yang wajib berpuasa pingsan atau tidur sebelum terbenamnya matahari dan baru sadar atau bangun setelah terbitnya fajar kedua. Maka menurut pendapat mayoritas ulama, dia tidak boleh berpuasa dan puasanya tidak syah walaupun dia berpuasa, sementara menurut pendapat yang kedua dia boleh berpuasa dan puasanya syah karena telah berniat di awal ramadhan.
Maka dari sini kami berkesimpulan bahwa yang kuat adalah pendapat yang pertama, yakni yang menyatakan bolehnya berniat di awal ramadhan untuk sebulan penuh, wallahu a’lam.
[Al-Mughni: 3/9, Al-Majmu’: 6/302, Kitab Ash-Shiyam: 1/198-199, Asy-Syarhul Mumti’: 6/369, dan At-Taudhih: 3/151]
* * *
Apakah  niat  puasa  Ramadhan disyaratkan pada  setiap  hari  di bulan Ramadhan ataukah cukup dengan niat di awal hari Ramadhan?
Al Ustadz Abu Zakariya Rishky Al Atsary
Dalam masalah ini, terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha dan  ahlil-ilmi.  Terdapat  dua  pendapat  dikalangan  mereka  yang  juga merupakan dua riwayat dari Imam   Ahmad.
Pendapat  pertama, bahwa  niat  diharuskan  pada  setiap  hari  pada  bulan Ramadhan.
Pendapat  ini  merupakan  pendapat  mayoritas  ulama.  Mereka  berargumen dengan hadits-hadits serta atsar yang mauquf kepada Hafshah, Ibnu Umar dan Aisyah -yang telah disebutkan sebelumnya-, bahwa tidak sah niat bagi yang tidak meniatkannya di waktu malam.
Dalam penafsiran ulama yang menyatakan pendapat ini, hadits dan atsar tersebut  berlaku  pada  setiap  hari  di  bulan  Ramadhan  secara  terpisah. Disebabkan puasa Ramadhan adalah ibadah dan setiap ibadah disyaratkan adanya niat.
Mereka juga mengatakan, bahwa hal tersebut di analogikan kepada shalat  lima  waktu  pada  setiap  hari,  dimana  diantara  dua  ibadah  shalat terpisahkan dengan perbuatan-perbuatan yang bukan bagian dari ibadah shalat,  bahkan  menggugurkan  ibadah  shalat.  Dengan  demikian  setiap shalat  mengharuskan  adanya  niat  tersendiri  secara  terpisah.  Demikian halnya dengan ibadah puasa.
Pendapat kedua, niat hanya diharuskan sekali di awal bulan. Pendapat ini merupakan  mazhab  Imam  Malik,  al-Laits  bin  Sa’ad,  Imam  Ahmad  pada salah satu riwayat beliau dan Ishaq.
Argumentasi mereka adalah firman Allah subhanahu,
“Bagi  siapa  yang  mendapati  bulan  Ramadhan  diantara  kalian,  maka diharuskan baginya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)
Mereka  mengatakan,  bahwa  penamaan  bulan  Ramadhan  mengacu  pada satu zaman waktu. Dan ibadah puasa Ramadhan dari awal hingga akhir adalah sebuah ibadah yang satu layaknya shalat dan haji, dengan begitu hanya membutuhkan sekali niat.
Dan juga dengan hadits Umar bin al-Khaththab -radhiallahu ‘anhuyang masyhur, dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal haruslah disertai dengan niat. ..”
Ash-Shan’ani  mengatakan,  ”Dikarenakan  Ramadhan  kedudukannya  sama dengan sebuah ibadah, dan berbuka pada malam-malam Ramadhan juga merupakan   ibadah,   yang   dengan   berbuka   tersebut   akan   membantu pengerjaan puasa pada siang hari Ramadhan.”
Pendapat  yang  shahih,  adalah  pendapat  yang  kedua.  Sedangkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh ulama yang berpendapat keharusan niat disetiap hari, telah diketahui ke-dha’ifannya. Dan atsar Hafshah, Ibnu Umar dan  Aisyah  sendiri,  mujmal/global,  dapat  ditafsirkan  pemberlakuannya  -yakni niat- pada setiap hari, dan juga hanya pada sekali di awal Ramadhan. Wallahu a’lam.
SUMBER :
edisi e-book dari “Risalah Ahkam Ramadhan” yang kami transkrip / salin dari artikel-artikel yang terdapat di web darelsalam yang merupakan tulisan dari Al Ustadz Abu Zakariya Rishky Al Atsary hafizhahullah